Antara Ibu dan Pengantinku

Foto:internet



Nuri Puan Marwani, anak tunggal pemilik hotel NPM sebuah tempat termegah di ibu kota negeri ini akan melansungkan pernikahan. Seantero negeri harus tahu kabar itu, Nuri telah mengumumkan waktu pernikahannya di media-media besar. Mudah saja baginya, tinggal menghubungi relasi papanya setiap orang akan senang hati mengabulkan keinginannya. Ia telah bertekad akan memutuskan sendiri tetek bengek resepsinya. Semakin dekat, dirinya kian sibuk. Tak jarang Ram harus meninggalkan pekerjaannya demi menemani calon pengantinnya itu. Ramadhani Ram, CEO NPM akan menjadi pendamping Nuri di hari resepsi.

Ram memutuskan memarkir mobilnya lalu menyusuri jalan setapak. Dirinya tergoda oleh aroma rumput di taman kota yang baru saja dibasuh hujan. Ia memilih berjalan kaki sekadar menikmati dingin hujan yang sendu. Tempat tujuannya tak begitu jauh di balik taman. Kakinya terhenti ketika menemukan kursi taman di bawah pohon Ki Hujan. Sesekali sisa hujan jatuh menyentuh rambutnya. Ia duduk sejenak, pikirannya mengawan. Waktu pernikahannya tak kurang dari sebulan lagi namun dirinya masih diliputi gelisah. Latar belakang keluarga mereka terlampu berbeda. Nuri keluarga aristokrat, darah murni kental hasil persilangan sempurna sedang dirinya jauh dari itu. Di benak lainnya ada rasa bangga karena dirinya terpilih akan menikahi seorang putri. Yah, Nuri memilihnya.

Telepon genggamnya berbunyi, “Sayang, kamu sudah di mana?,” bahkan suara manja Nuri pun membuatnya segan.

“Iya, saya sudah dekat,” Ram menghela nafas panjang, lalu beranjak dari tempat duduknya. Ram berharap setidaknya pikirannya itu terbang bersama sisa hujan di dedaunan yang mulai menguap.

Di pojok kafe Nuri terlihat sibuk dengan buku catatannya. Sudah bisa ditebak apa yang sedang ditulis maupun dicoret, daftar kebutuhan resepsi yang sudah menghabiskan tiga buku catatan tebal. Ram menghampiri dan lansung mengambil kursi di depannya. Ia mengerutkan dahi melihat kekasihnya masih sibuk membolak-balikkan catatan. Tak lama kemudian telepon genggam Ram berbunyi, Ia beranjak meninggalkan meja. Melihat itu, Nuri mendongakkan kepalanya.

“Telepon dari siapa sampai saya tidak boleh dengar,” ujar Nuri ketus ketika Ram sudah kembali ke tempat duduknya.

“Dari Ummi, kita diajak makan malam di rumah. Kamu bisa kan?” harap Ram.

“Ram, kamu kan tahu hari ini kita akan mencoba gaun pengantin, kemudian mengecek cincin pernikahan sudah cocok atau belum, jadwal kita sangat padat. Waktu pernikahan kita sudah sangat dekat, tapi masih banyak yang perlu kita persiapkan. Kamu bisa ngerti kan?” Nuri berhenti sejenak menatap Ram. “Sayang, acara seperti itu bisa kita lakukan sesering mungkin kalau pesta kita sudah usai. Okey. Oh ya, kasi tahu orang tuamu dan adik-adikmu kalau saya sudah menyiapkan gaun untuk dipakai saat resepsi nanti.”

“Orang tuamu? Adik-adikmu?” Ada sedikit yang mengganjal di hati Ram mendengar ucapan Nuri. Namun Ia menepisnya, toh memang mereka belum resmi. Sebenarnya batinnya protes karena Nuri juga baru sekali berkunjung ke rumah orang tuanya, itu pun saat Ram meminta restu sehingga mau tak mau Nuri harus meluangkan waktu berkunjung ke rumah masa kecil Ram. Ia mengambil telpon genggamnya, lalu mengucapkan permintaan maaf karena tidak bisa memenuhi panggilan keluarganya. Di balik telepon terdengar keluarganya sangat kecewa. Raut wajah Ram jelas terlihat bingung bagaimana cara menjelaskan penolakannya, Ia menatap kekasihnya namun Nuri hanya mengangkat bahu sebagai tanda agar Ram memakluminya.


***


Sepanjang jalan tetamu di sambut patung unicorn putih berhias bunga menuju ruang resepsi. Ribuan bunga mawar putih mengiasi meja dan kursi tamu. Tiang-tiang dililit bunga merah muda. Lampu berwarna putih salju kemerlap-kemerlip bak bintang menghiasi langit-langit. Telinga dimanjakan lantunan suara emas Glen Fedly. Wajah artis papan atas juga bermunculan. Tentu saja para pejabat dan pengusaha turut hadir. Pesta ini dinobatkan sebagai pernikahan termegah sepanjang tahun 2015.


Nuri menggunakan gaun berwarna gading berbahan satin organza dihiasi bunga renda chantilly terselip berlian yang dijahit tangan. Aksen ekor gaun pengantin sepanjang tiga meter dan total tujuh petticoat yang terbuat dari kain tulle sepanjang sepuluh meter menjuntai layaknya sayap burung cenderawasih. Mahkota dan sepatunya sepadan bertahta berlian chaumet. Seirama dengan Nuri, Ram menggunakan jas putih gading celana hitam, diperindah dengan dasi kupu-kupu berwarna hitam. Mereka bak putri dan pangeran. Konsep megah yang diinginkan Nuri hampir sempurna tanpa celah andaikan keluarga Ram tak mengacau benak Nuri.

Keluarga Ram datang agak telat. Gaun yang dikirimi Nuri untuk dipakai oleh orang tua dan kedua adik Ram sudah pas di badan mereka. Masalahnya terletak pada ibu Ram. Gaun atasan terbuka, ketat, dan agak transparan membuat Ibunya tak nyaman memakainya. Sudah berkali-kali dipasangkan dengan ini dan itu tetap saja masih jauh dari syar’i. Bahkan mereka sudah sempat di tengah perjalanan tetapi berbelok pulang untuk berganti pakaian.

“Abi, Ummi mesti gimana? Kalau Ummi tidak pakai gaun itu Nuri akan kecewa, kalau Ummi pakai baju itu Ummi takut Allah Bi,” suara Ibu Ram berat.

“Ya sudah, Ummi betul. Sebaiknya kita pakai pakain yang nyaman dan sesuai syar’i. Saya yakin anak kita akan ngerti,” akhirnya mereka membalikkan kendaraan kemudian mengganti pakaian yang lebih sederhana.

Ibu Ram cemas, tetap saja ada sedikit penyesalan tergurat di wajahnya. Ia mengerti betul pesta anak pertamanya ini akan dihadiri oleh tamu-tamu penting. Penampilan luar menjadi penilaian besar untuk membedakan status sosial orang-orang di pesta. Kemegahan ruangan membuat orang tua Ram sendiri canggung melangkahkan kaki. Namun melihat Ram di atas pelaminan, Ibunya menampik pandangan orang-orang sekitarnya. Ia berjalan ke atas pelaminan, Ram menyambut dan memeluk erat Ibunya.

Ibu Ram terharu, “anak Ummi sangat gagah,” bisikan doa-doa mengalir di mulutnya.

Sejak melihat keluarga Ram air muka Nuri sudah berubah, wajah yang awalnya penuh senyum kemenangan berubah seketika. Nuri menerima pelukan Ibu Ram tanpa mimik, seolah yang dipeluknya tak dikenal. Ram sempat menoleh melihat wajah Nuri, tapi si putri mengabaikannya.

“Ummi dan Abi berdiri di samping Ram biar semua orang tahu siapa yang melahirkan dan membesarkan Ram,” ucap Ram bangga, seketika rasa minder orang tuanya luluh. Dua adik Ram sudah mengambil tempat duduk khusus di bagian keluarga besar.

Nuri hilang kesabaran, Ia berbisik di telinga, “Ram, ibu ayahmu tidak cocok berdiri di situ, tidak sepadan. Apa kata orang nanti, di sini banyak media Ram. Lagian mengapa tidak pakai gaun yang saya beri.”

Darah di tubuh Ram tiba-tiba berdesir, tangannya gemetaran mendengar ucapan Nuri. Ia menarik nafas sangat dalam. Ibu Ram yang mendengar bisikan itu segera menjelaskan perkara yang terjadi, “maafkan Ummi Nak Nuri, tadi Ummi ganti soalnya….”

Nuri memotong, “Ram, suruh orang tuamu pergi dari ruang ini, duh saya malu Ram,” Nuri mengabaikan Ibu Ram, menatapnya pun tak sudih.

Ram dilema. Sampai saat ini dirinya mematuhi semua permintaan Nuri karena Ia tahu karakter Sang Putri tidak boleh dibantah. Namun mendengar ucapan Nuri membuatnya goyah. Ram menganggap Nuri agak keterlaluan kali ini. Mana mungkin Ia tega menyuru ibunya turun dari pelaminan apalagi mengusirnya dari pesta. Mata ibunya sudah berkaca-kaca, namun Ia melihat pula mata geram Nuri.

Batin Ram bergejolak. Diingatnya masa-masa kecilnya, hidup keluarga mereka sangat sederhana. Ayahnya pedagang beras di pasar. Jika sedang libur, Ia akan membantu ayahnya berjualan. Ia menyaksikan sendiri sang ayah sering memberi beras tambahan bagi orang-orang miskin yang hanya mampu membeli beras satu dua liter. Siang hari Ibu dan kedua adiknya akan datang membawa rantang. Mereka makan bersama, Ibunya selalu memberinya lauk tambahan di piringnya. Ram kecil nyengir. Ram selalu bangga memiliki orang tua sederhana berbudi luhur.

Lalu bagaimana dengan hari ini, keadaan ini. Ram mengepalkan tangannya, suaranya bergetar ketika menyuruh ayah dan ibunya turun dari pelaminan. Ibunya terisak-isak, bahkan ayah yang tak pernah dilihatnya menangis pun menitikkan air mata. Ram tak perlu mengulang kalimatnya, kedua orang tuanya sudah membalikkan badan.

Tak ada yang memperhatikan kejadian singkat itu. Nuri kembali melebarkan senyumnya lalu melingkarkan tangannya di lengan Ram. Belum sampai sepuluh langkah meninggalkan tangga, Ram melepaskan tangan Nuri kemudian berjalan mengambil mikrofon. Satu dua tamu sempat menoleh ke arah pengantin pria.

“Ada yang mau membeli Abi dan Ummi saya?” ucap Ram. Para tamu lainnya hampir bersamaan berbalik ke arah pelaminan tempat Ram berdiri.

Langkah ayah dan ibunya kian berat, hanya istigfar yang mengalir deras di mulut mereka. “Maafkan dosa kami ya Allah,” Ibu Ram berbisik sambil memejam pelan matanya.

“Sekali lagi, saya lelang Abi dan Ummi saya, ada yang mau beli mereka masing-masing 1 miliar,” ucapnya lebih tegas. Hening. Ada yang mengerutkan kening, saling menatap, berhenti menyantap. Nuri hanya melongo melihat adegan di luar rencana itu.

Ram turun dari pelaminan menghampiri kedua orang tuanya. Ibu dan ayahnya sudah tidak berani berbalik. Mereka terus beristigfar sambil terisak. “Kalau begitu saya turunkan menjadi masing-masing 500 juta saja,” tegasnya kembali.

Sesampai di depan ayah dan ibunya, Ram berdir sejenak. Ram menarik nafas dalam-dalam, “saya tahu di antara kalian tidak ada yang mampu membeli orang tua saya, orang tua saya tidak bisa dibeli dengan uang, Abi dan Ummi saya sangat sangat jauh lebih berharga dari semua kemegahan yang ada di ruangan ini,” Ram berlutut di depan orang tuanya lalu mencium kaki mereka. Ram meminta maaf kepada kedua orang tuanya. Mereka saling berpelukan. Kedua adiknya mengikuti.

Ram merangkul kedua orang tuanya dan mengajak mereka meninggalkan pesta megah itu. Ia tahu ini saatnya memutuskan satu hal yang telah lama mengganjal pikirannya. Cinta itu didasari saling menyukai tanpa syarat. Pernikahan bukan perkawinan antara dua orang saja, akan tetapi pertalian antara dua keluarga yang saling menerima kekurangan. Ia memutuskan meninggalkan pekerjaan yang merenggut cinta orang tuanya. Sekarang giliran Nuri Puan Marwani yang terisak.

Sekian

Cerpen ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com danNulisbuku.com

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maaf

Mengangkat Periode Sastra 50-an