Mahasiswa Bureng Vs Organisatoris
Satriani Mulyadi |
Suatu hari, perkuliahan di kelasku dihentikan sekitar satu jam. Dosenku saat itu lebih fokus menjelaskan nasib lulusan mahasiswa kelak. Katanya, ke depan, tak ada lagi penerimaan pegawai negeri sipil sampai waktu yang tidak ditentukan. Saya mengerutkan dahi, sembari bertanya dalam hati, “jika tak ada, bagaimana nasib sejuta sarjana selanjutnya.”
Di sela dosen yang hanya bisa memberi tugas setelah menjelaskan power point-nya, ternyata masih ada yang sempat berbicara soal penting berorganisasi. Kurang lebih dia mengatakan seperti ini, “buat apa formalitas tanpa esensi, di negera ini tahun depan tak ada penerimaan pegawai negeri, mau jadi apa? Kalian akan tergerus jika tak punya kemampuan.” Saya tahu saat itu ia sedang memberikan petuah kepada kami selaku mahasiswa. Agar akal kami bisa berfikir lebih dalam tentang makna berorganisasi.
Saya kemudian teringat cercaan teman tentang tipikal mahasiswa. Sore itu, kami sedang duduk di pinggir danau buatan Unhas sembari melihat mahasiswa lalu-lalang. Kami berbicara tentang gambaran seorang buru rangking (baca: rengking), yang lazim diringkas bureng. Di sisi lain juga bercerita tentang seorang organisatoris.
Temanku ini bisa dibilang tergolong Bureng. Ia pun bercerita tentang hidupnya yang menurutnya sederhana. Mulai pagi, usai sarapan dan memeriksa perlengkapan kuliah ia langsung berangkat kuliah.
Lebih lanjut ia menceritakan tentang kepiawaiannya memanaj dirinya, bahwa si Bureng selalu lebih awal masuk kuliah dari temannya yang lain. Katanya, ia tak mau ambil resiko, takut kalau terlambat akan diusir dan dipermalukan.
Menurut pengamatannya, yang sering terlambat adalah organisatoris. Bagaimana tidak, keterlambatan seorang organisatoris karena banyak kegiatan. Intinya sibuk berorganisasi. Padahal, bagi si Bureng, itu alasan yang tidak masuk akal. Tidak ada yang menyibukkan selain kuliah, tidak ada pula yang menghabiskan waktu selain mengisi modul. “Memangnya kegiatan organisasi bisa memberi nilai bagus,” ketusnya.
Si Bureng kemudian membandingkan dirinya dengan organisator. Ia menjelaskan bahwa organisasi hanya memperlambat seseorang menyeselesaikan kuliah. Baginya tujuan utama kuliah untuk mendapat Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tinggi dan cepat sarjana. IPK harus empat dan lulus kurang dari empat tahun. Kalau mau dapat itu, harus rajin kuliah dan mengerjakan tugas ceritanya dengan bangga kepada si Organisator.
Si Bureng terus bercerita tentang dirinya. Menurutnya, organisator adalah mahasiswa sok sibuk. Urus sana-sini tapi nilainya banyak yang eror. Pokoknya baginya, kerja tugas kuliah adalah wajib yang lain bukan sunnah tapi haram.
Menjadi apa pun memang pilihan, termasuk Bureng. Namun, ia melupakan sesuatu yakni dirinya sebagai makhluk sosial, ia meninggalkan perannya. Berperan sebagai agent of change (pembawa perubahan), social control (pengendali sosial), dan moral force (peran moral). Bahwa, sejak meninggalkan seragam putih abu-abu, seabrek tugas siap direngek. Mahasiswa sebagai makhluk yang digadang-gadang insan intelek haruslah dapat mewujudkan status tersebut dalam ranah kehidupan nyata.
Melanjutkan pernyataan dosenku ‘Buat apa formalitas tapi tanpa esensi’. Esensi kebanyakan diperoleh ketika seseorang berhadapan langsung dengan masalah. Dan masalah dirasakan bukan di ruang kuliah.
Memang sekarang kecenderungan untuk berlembaga semakin berkurang. Terbukti beberapa lembaga mengeluhkan minim kader. Ini adalah awal dari sikap apatis dan kurang peka. Untuk menguji kepekaan, seseorang harus lebih sering menghadapi masalah. Wadah untuk menyelesaikan masalah tak lain berada di lembaga. Belajar tentang metode kepemimpinan, demokrasi, nasib bangsa, penderitaan rakyat, terlebih cara memanajemen diri dsb.
Jika beranggapan semua akan mengalir secara instan, pernyataan itu salah. Itu cuma takdir yang dialami satu dua orang dan yakinkah bahwa takdir mujur itu akan menimpa semua orang termasuk kita.
Coba bayangkan, ketika dua orang diperhadapkan dengan sebuah masalah sosial. Taruhlah si bureng dan si organisator. Si bureng mulai menghitung ini itu, ia mencari cara untuk menyelesaikannya. Ia tidak terbiasa dengan permasalahan sosial, terang saja, masalah sosial bukan dengan cara menghitung satu dua tiga. Tapi si organisator, menghadapi individu dengan individu dengan kepiawaiannya, itulah realitas.
Menjadi Bureng atau Organisator bukan kesalahan. Bagi saya setiap orang punya cara pandang untuk memaknai hidupnya. Si Bureng ataupun si Organisator hanya pilihan. Silahkan memilih, belum terlambat!
Saya selalu ingat kata-kata seorang senior bahwasanya eksistensi bukan karena orang mengetahui keberadaan kita, tapi merasakan manfaat kita. Jika anda si Bureng, apakah anda sudah merasa punya eksistensi? Atau jika anda si Organisator, benarkah anda sudah memiliki eksistensi itu? Silahkan temukan jawabanya. Bukan di satu tempat, tapi di semua sudut-sudut sekolah dan makhluk-makhluk rasional. Anda tahu kan, setiap tempat adalah sekolah dan setiap orang adalah guru.
Staf Penyunting PK identitas
Mahasiswa Sastra Indonesia 2009
link: http://www.identitasonline.net/2011/06/mahasiswa-bureng-vs-organisatoris.html
nice story, follback my blog, pilarputih.blogspot.com
BalasHapusEmm okay!, realistis intinya 😗
BalasHapus