Cerita Hidup Larasati

Judul : Larasati
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Terbit : -
Halaman : -
Harga : -

Seorang gadis tersenyum sambil mengelus rambutnya. Rambut sepanjang bahu itu tergurai bergelombang dengan warna hitam pekat. Ia menggunakan gaun berwarna merah kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Sempurna untuk wajah seorang putri raja. Di latarnya terdapat gambar seorang ibu. Lagi, ada potret suasana stasiun kereta api tempo dulu. Inilah gambar sampul buku Larasati yang berlatar merah pula.

Warna merah, jika dikaji dengan ilmu semiotik (tanda dan petanda:Ferdinand de Saurse) semua punya makna. Nah, warna merah ini diidentikkan dengan keberanian. Satu lagi karya dari tangan seorang sastrawan terkemuka Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Sebuah karya dibalik perjuangan dan pemberontakan rakyat Indonesia untuk meraih kemerdekaan.


Buku ini bercerita tentang seorang gadis bernama Larasati. Ara, begitu  Ia dipanggil, tinggal bersama ibunya di sebuah gubuk yang letaknya jauh dari kota. Belianya, Ia telah meninggalkan desa dan ibunya. Kala itu, Ara belia bertemu dengan seorang laki-laki yang lebih cocok dipanggilnya sebagai Om. Laki-laki itu mengiming-imingkan Ara menjadi artis terkenal dengan syarat Ia harus ikut dan turut perintah. Keinginan si laki-laki pun diikutinya. Tanpa sepengetahuan ibunya, Ia telah pergi ke Jakarta.

Beberapa tahun kemudian, Ara sering muncul di layar lebar maupun televisi. Ia telah populer. Kepopulerannya tak lepas karena kecantikan parasnya, labih lagi Ia turut menjadi penghibur kolonial. Ketenarannya ini di tengah pergolakan dan perjuangan rakyat Indonesia merebut kemerdekaan. Karena itu, Ia dikejar rasa bersalah. Bersalah karena tak mampu berbuat apa-apa untuk membantu teman sejawatnya di desanya. Lagi, bersalah karena penghasilan yang di dapat dari keartisannya sebagai antek dan penghibur kolonial, sedang di luar sana terjadi pertumpahan darah antara kolonial dan saudara se-tanah airnya sendiri untuk memperoleh kemerdekaan.

Tak tahan dengan kedilemaannya, Ara pun berusaha lari dari kehidupan gemerlapnya itu. Namun, kemauan itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Berbagai rintangan mesti Ia lewati. Meski demikian, Ara sekarang bukan belia lagi, Ia sudah berani mengambil sikap. Dengan terang Ia menyebutkan keinginannya lepas dari dunia artis dan kembali ke kampung halaman membantu memperjuangkan kebebasan bangsanya.

Di buku ini digambarkan bagaimana perjalanan pulang Ara di tengah puncaknya pergolakan dan ketatnya penjagaan daerah yang dikuasai penjajah. Tak sedikit yang mengenali wajahnya sebagai artis. Maka, Ia pun berusaha lepas dengan cara menggoda para kolonial itu menggunakan kecantikan dan kelihaiannya merayu. Siapa yang tidak jatuh dengan rayuan Ara. Semua menginginkannya, "cih...," katanya setelahnya.

Akhirnya, Ia sampai dipelukan ibu yang dirindukannya. Ara pun mengikuti kembali kehidupannya di desa. Ditambah dengan keikutsertaannya bergeriliya bersama pejuang kemerdekaan Indonesia. Suara peluru meletup dimana-mana.  Meriam menggempar di beberapa titik. Ia melihat bagaimana seorang anak bisa menjadi pemimpin perang dan gugur di medannya.

Ara betul-betul menyaksikan bagaimana orang-orang di kampungnya diperlakukan seperti kerbau. Sangat kontras dengan kehidupannya di Jakarta. Namun, kejadian ini justru semakin membangkitkan semangatnya untuk berjuang.

Sayangnya perjuangan Ara terputus ketika ibunya disandera oleh juragan tempat ibunya sendiri bekerja. Ternyata, juragan asal Arab itu menyukai Ara. Dengan terpaksa, Ia menyerahkan dirinya. Di rumah inilah Ara terkurung sebagai pelampiasan nafsu birahi si juragan. Ia tak dapat berbuat apa-apa karena terserang penyakit. Pernah, Ia berusaha berjuang dengan cara menulis di koran namun tak pernah tersampaikan.

Akhir penderitaannya, ketika sebuah kabar dari radio Ia dengar bahwa bangsanya telah merdeka. Semangatnya pun kembali. Tiba-tiba Ia sembuh dari sakitnya. Keberaniannya timbul untuk memberontak kepada si Juragan. Juragan itu tak mampu berbuat apa-apa karena Ia bukanlah  tergolong warga berkebangsaan Indonesia. Ara meninggalkan rumah itu bersama ibunya.

Kali ini keberuntungan kembali berpihak padanya, Ara bertemu dengan mantan kekasihnya di desanya. Maka, cerita ini berakhir dengan bersatunya Ara dengan kekasihnya itu.

Alur cerita buku ini memang mengisahkan perjalanan hidup seorang gadis. Sangat sederhana, namun yang ingin disampaikan Pramoedaya sebagai penulis buku bukan letak ceritanya tapi bagaimana kisah perjuangan rakyat terdahulu merebut kemerdekaan melalui kisah Ara. Ia juga ingin menjadikan karya sastra ini sebagai propaganda halus. Meski Ara seorang wanita dan artis, Ia tetap ikut berjuang.

Satriani M
*Resensi ini untuk tugas dari Litbang SDM PK.identitas.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maaf

Antara Ibu dan Pengantinku

Mengangkat Periode Sastra 50-an