Maaf


Aku sadar dengan keputusanku. Bukannya tanpa alasan. Aku lelah, sungguh sangat lelah. Bukan fisikku, tapi batinku.
Aku sudah berusaha menepisnya, "siapa tau ini egoku saja, pasti ada bayak hal yang dia lakukan, nanti juga dia cerita sama aku" bisikku dalam hati.

Ini sudah terjadi beberapa minggu terakhir, berpuncak dua hari kemarin. Aku hanya ingin dia sedikit punya usaha untuk menanyakan keadaanku, tapi mana? pedulikah dia padaku? Jika hal sekecil itu saja tidak peduli bagaimana yang besar nanti.
"sudalah, mungkin dia sibuk," bisikku lagi.
lagi, sesampai di tempatku. hari itu, tak ada pertanyaan, "kamu sampai belum?" aku cuma butuh satu kalimat itu? mana? tak ada?
Sudah pudarkah sayangnya padaku?
sampai-sampai aku harus kembali kepertanyaan yang semestinya tuntas terjawab sebelum kami menjadi kita, " kamu serius kah?"
" kalau serius, buktikan?"



katanya, kalau aku senang, kamu juga ikut senang.
omong kosong...

Salahkah aku meminta perhatianmu, sungguh...
Ingatkah kamu?
ketika kamu memusatkan perhatianmu padaku?
sayangnya itu dulu...
saat siang dan malam menjadi jadwalmu menghubungiku?
dulu, meski kamu tak pernah tau, bahwa jujur dua rentang waktu itu mejadi waktu yang sangat kutunggu setiap harinya.
sayangnya itu dulu...

lalu sekarang? pernahkah?

kalau awalnya aku berusaha memberikan apa yang kamu butuhkan, mencoba membaca yang kamu fikirkan, akhir-akhir ini tidak lagi. bagaimana tidak, aku juga bingung, kamu suka atau tidak. atau kamu malu padaku. cobalah, bilang padaku. kamu terlalu sukar berbagi padaku? kau anggap apa aku? begini cara memperlakukan yang katamu calon istri.
akh sudahlah, sayangnya itu dulu.

bukannya aku ingin mengubahmu menjadi orang lain, aku hanya ingin kau tahu apa yang ku inginkan. mereka juga tidak sesempurna yang pernah ku ucapkan padamu. tidak, tidak sama sekali. sebenarnya, secara tidak lansung hanya ingin kusampaikan padamu, aku menginginkan hubungan kita seperti itu.
 
aku juga ingin sombong.
sombong pada batinku bahwa aku punya kekasih yang sangat memperhatikanku.
sombong pada batinku bahwa aku tidak perlu berucap dan setidaknya kau berusaha tahu apa yang kubutuhkan.
yang kubutuhkan bukan materi sayang, cuma perhatiannmu, itu saja. cukup.
dan akhirnya, batinku lelah terus kujanji.
aku sudah memohon pada batinku, "tunggulah sebentar, beri aku kesempatan, dia pasti akan berubah,"
sayangnya batin ini tidak berkompromi lagi.
kemudian si batin berucap, "ku beri kau kesempatan, ini sekaligus untuk melihat dan membuktikaan kepekaan cinta dan sayangnya padamu, sejauh mana dia mempertahankan dan memperjuangkan dirimu, ingat! yang dibutuhkan perasaan perempuan ialah melihat pengorbanan, kamu beri kata 'mau putus' danlihatlah dia."

"ya, saya terima tawaranmu," bisikku pada batin.
tapi sayang......

Seandainya kamu lebih punya usaha lagi untuk mempertahankanku, aku lebih memilih bersamamu. Selamanya, tapi sayang, kamu melepasku tanpa perlawanan. Aku kecewa, batinku pun kecewa.

Kucurahkan ini dalam tangisku, tangis yang akhir-akhir ini sering mengalir. Biarkan ini jadi cerita saja. Maaf untuk Adamku.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara Ibu dan Pengantinku

Sisi Feminis Alwy Rachman