Foto:internet Nuri Puan Marwani, anak tunggal pemilik hotel NPM sebuah tempat termegah di ibu kota negeri ini akan melansungkan pernikahan. Seantero negeri harus tahu kabar itu, Nuri telah mengumumkan waktu pernikahannya di media-media besar. Mudah saja baginya, tinggal menghubungi relasi papanya setiap orang akan senang hati mengabulkan keinginannya. Ia telah bertekad akan memutuskan sendiri tetek bengek resepsinya. Semakin dekat, dirinya kian sibuk. Tak jarang Ram harus meninggalkan pekerjaannya demi menemani calon pengantinnya itu. Ramadhani Ram, CEO NPM akan menjadi pendamping Nuri di hari resepsi. Ram memutuskan memarkir mobilnya lalu menyusuri jalan setapak. Dirinya tergoda oleh aroma rumput di taman kota yang baru saja dibasuh hujan. Ia memilih berjalan kaki sekadar menikmati dingin hujan yang sendu. Tempat tujuannya tak begitu jauh di balik taman. Kakinya terhenti ketika menemukan kursi taman di bawah pohon Ki Hujan. Sesekali sisa hujan jatuh menyentuh rambutnya. Ia dudu
Alwy Rachman seperti ibu yang tahu anaknya menderita hanya dengan sekali tatapan. Hanya seorang ibu yang mampu melakukan itu. Dan lambat laun si anak akan percaya padanya. Menceploskan keresahan dirinya, ibarat seorang gadis sedang curhat kepada teman gadisnya. Lupa bahwa di hadapannya adalah seorang yang baru dikenalnya, tapi entah mengapa begitu lekat dengannya. Bayi yang baru lahir hendak mencari ibu susu untuk menancapkan kekebalan di tubuhnya. Alwy Racman siap menyusuinya, memberikan gizi terbaik, pandangan baru tentang dunia dan hakikat hidup. Bagaimana seseorang mesti memiliki pondasi kuat di akal pikirannya. Sebab akal pikiran inilah yang akan mengantarkan seseorang menentukan eksistensinya. Hitam atau putih. “Hei Gadis” atau “Hei Ladies” ucapnya acap kali bertemu denganku, kedengarannya tetap seperti Lady. Saya tahu dua kata sapaan itu juga popular bagi yang lain. Tapi itu bukan sekadar sapaan, di dalamnya terkandung kedekatan. Tengok kebiasaan rakyat Inggris, menyebut Lady
Aku sadar dengan keputusanku. Bukannya tanpa alasan. Aku lelah, sungguh sangat lelah. Bukan fisikku, tapi batinku. Aku sudah berusaha menepisnya, "siapa tau ini egoku saja, pasti ada bayak hal yang dia lakukan, nanti juga dia cerita sama aku" bisikku dalam hati. Ini sudah terjadi beberapa minggu terakhir, berpuncak dua hari kemarin. Aku hanya ingin dia sedikit punya usaha untuk menanyakan keadaanku, tapi mana? pedulikah dia padaku? Jika hal sekecil itu saja tidak peduli bagaimana yang besar nanti. "sudalah, mungkin dia sibuk," bisikku lagi. lagi, sesampai di tempatku. hari itu, tak ada pertanyaan, "kamu sampai belum?" aku cuma butuh satu kalimat itu? mana? tak ada? Sudah pudarkah sayangnya padaku? sampai-sampai aku harus kembali kepertanyaan yang semestinya tuntas terjawab sebelum kami menjadi kita, " kamu serius kah?" " kalau serius, buktikan?"
Komentar
Posting Komentar