Mengangkat Periode Sastra 50-an



“Saya merasa sejarah sastra itu tidak adil karena menghilangkan penulisan sejarah sastra 50-an”
Berbicara tentang sejarah sastra di Indonesia, berarti akan membahas hasil karya sastra. Karena untuk mengetahui perkembangan sejarah sastra maka yang dikaji adalah karya-karyanya. Beberapa sastrawan di Indonesia pun membuat buku yang salah satu tujuannya mencatat sejarah perkembangan sastra di Indonesia. Seperti HB Jassin, Ajib Rosidi, Supradopo, Bakri Siregar, Joko Padopo dll.
Jika membaca buku Intisari Sejarah Sastra karangan HB Jassin, atau buku Sejarah Sastra karya Ajib Rosidi dan buku yang berbicara tentang sejarah sastra lainnya, kebanyakan akan muncul pembahasan periode sastra abad ke-19. Seperti Periode 20-an atau biasa disebut angkatan bakai pustaka, periode 30-an disebut angkatan pujangga baru, periode 40-an disebut angkatan 45, periode 60-an disebut angkatan 66.
            Angkatan Balai Pustaka terkenal dengan novel “Siti Nurbaya” karya Merari Siregar, angkatan pujangga baru terkenal dengan novel “Belenggu” karya Sanusi Pane, angkatan 45 terkenal dengan novel “Atheis” karya  AD. Chadiat, dan angkatan 66 terkenal dengan karya novel-novel Pramoedya Ananta Toer seperti “Gadis Pantai” dan “Mangir”.
            Melihat karya setiap periode diatas, Drs Nursa’adah Msi, salah satu dosen Jurusan Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin menelisik adanya periodesasi yang hilang di abad tersebut. Ada apa di periode 50-an. Kenapa periode ini terlangkahi dalam pencatatan sejarah yakni dari periode 40-an lansung ke periode 60-an. “Saya merasa sejarah sastra itu tidak adil karena menghilangkan penulisan sejarah sastra 50-an” tuturnya, saat ditemui di kantor Jurusan Sastra Indonesia, Selasa, (2/11)
            Dosen pengajar mata kuliah Sejarah Sastra ini pun mencari refrensi terkait periode 50-an. Dan akhirnya menemukan jawaban atas ketimpangan tersebut. Dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia di isukan bahwa pada saat itu terjadi impasse atau krisis. Kritikus sastra seperti HB Jassin yang disebut sebagai Paus Sastra Indonesia termasuk yang menyebutkan hal tersebut.
            Namun, yang ingin disampaikan oleh Bu Ade (sapaan akrabnya), bahwa pada periode tersebut Indonesia memang mengalami krisis ekonomi tapi bukan berarti krisis karya sastra, Jadi hal tersebut yang mesti digaris bawahi.
            “Jadi itu harus diungkap kembali supaya tidak hilang, dan orang tidak mengatakan terus periode 50-an itu terjadi krisis sastra. Memang pada saat itu terjadi krisis ekonomi. Namun ternyata tidak berkorelasi lansung dengan krisis sastra terbukti karya sastra diciptakan terus. Tapi memang pada saat itu yang paling menonjol adalah drama” tambahnya.
            Karya sastra pada saat itu tetap mengalir seiring perkembangannya. Dosen kelahiran Makassar ini menjelaskan dalam tulisannya “Sejarah Sastra yang Hilang” Justru pada masa inilah lahir sastrawan yang sangat diakui oleh dunia yaitu Pramoedya Ananta Toer.Karya-karyanya yang diakui oleh Negara-negara lain. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya beberapa buku yang mengapresiasi karya-karya beliau, yang terbit dalam bahasa Portugis, Rumania, Vietnam, Cina, Jepang, Spanyol, Swedia dan lain-lain.
            Karya-karya Pramoedya A. Toer yang lahir pada masa itu seperti: Perburuan, Keluarga Gerilya, Cerita dari Blora, Mereka yang Dilumpuhkan, Di Tepi Kali Bekasi, Bumu Manusia, Anak Semua Bangsa, Orang-orang Baru dari Banten, Jejak Langkah, Gadis Pantai dan beberapa karya-karya lainnya.
            Bukan hanya Pramoedya yang ada di periode ini, juga novelis seperti Achidiat Kartamiharja dalan karyanya Bentrokan dalam Asmara, Keluarga Raden uga Sostro, Puncak Kesepian. Dan ada juga Aoh K Hadimadja dengan karyanya Labok dan Kapten Sjaf.
            Selain itu, dalam tulisannya, Bu Ade juga menyebutkan bahwa di periode 50-an inilah zaman keemasan karya sastra drama dan teater yang lahir di tangan anak bangsa. Lahir pula lembaga-lembaga seni seperti ATNI (1955) di Jakarta, ASDRAFI (1954) di Jogjakarta, Teater Bogor, Teter Nasional Indonesia, Dewan Kesenian Makassar. Dan sejumlah lembaga lainnya
Lalu ternyata itu tidak dikatakan, saya mengatakan bahwa sejarah sastra Indonesia periode 50-an itu dihilangkan karena faktor politik. Faktor orang –orang alergi dengan komunis. Harapan Bu Ade agar periode ini kembali digaungkan. “Tidak boleh menghilangkan sejarah,” paparnya.
Satriani M

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sisi Feminis Alwy Rachman

Antara Ibu dan Pengantinku

Maaf