Menjelajahi Sumatera Utara

Pemandangan Danau Toba/Foto Istimewa

Selasa, (22-29/11) saya Satriani M bersama Firmansa dan Icha Dian Nurcahyani selaku kru PK identitas menjadi delegasi untuk mengikuti Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional (PJTL) Salam Ulos 2010. Kegiatan ini diselenggarakan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suara USU Medan, Universitas Sumatera Utara. Tidak hanya pelatihan, kami juga diajak menikmati eksotik kota Medan di malam hari dan melakukan jelajah wisata sepanjang Sumatera Utara.

    
    Pada hari kedua kegiatanSeminggu dalam Jurnalisme Profesional (Salam Ulos) yang bertema Jurnalisme Damai “Tidak Hanya Menuliskan, tapi Juga Mendamaikan” di Medan, para peserta yang datang dari berbagai LPM se-Indonesia diberi kesempatan berkeliling menikmati keindahan kota pada malam hari. Malam itu kami mendatangi tempat-tempat bersejarah di kota Medan. Salah satunya adalah mesjid Raya Al-Mahsum. Dahulu, mesjid ini merupakan tempat ibadah Sultan Makmun Al-Rasjid, raja Melayu Deli. Tak jauh dari sana, di seberang jalan tampak taman dengan sebuah kolam. Taman ini merupakan tempat istirahat raja dan istrinya. Kami juga mengunjungi istana Maimoon. Istana inilah pusat Kerajaan Deli. Bangunan-bangunan tersebut sangat dijaga masyarakat setempat. Selain untuk menjaga situs sejarah, bangunan ini juga memiliki nilai artistik yang tinggi. Warna catnya pun disesuaikan dengan khas melayu yakni kuning dan hijau.
Selanjutnya, kami menuju kawasan titik nol Kota Medan. Di sini kita dapat makan malam sembari menikmati pusat kota Medan. Sebelum kembali ke penginapan, kami mampir di Jalan Pagaruyung. Tempat ini menjadi ikon kuliner kota Medan. Di sini kita dapat menikmati berbagai macam makanan seperti mie aceh, mie pangsit, kwetiau goreng, nasi ayam, dan sebagainya. Uniknya, penjual jajanan tersebut mayoritas warga keturunan Cina dan India.

Menikmati Panorama Danau Toba dan Air Terjun Sipiso-piso
 

Sabtu (27/11) dini hari sekitar pukul 12 malam, kami berangkat ke danau Toba.   “Selamat Datang di Danau Toba”, tulisan itu berbentuk setengah lingkaran di atas gerbang. Cuaca sangat dingin. Jam 5 pagi, kami tiba di pe­nginapan, yang terletak tepat sebelah timur Danau Toba. Dari balik jendela penginapan kita pun dapat melihat jelas heningnya suasana danau. Dingin udara mulai mereda setelah berkompromi dengan sinar matahari.
Sekitar jam 8 pagi, kapal wisata se­derhana dengan deretan kursi besi bercat putih telah siap membawa kami ke pulau Samosir, kota Tomok, pulau di seberang danau. Sebelumnya, kami diajak ke sisi kanan danau untuk melihat sebongkah batu. Batu itu mirip seorang gadis. Di sampingnya terdapat pula batu me­nyerupai anjing. Konon, gadis itu adalah putri raja yang ingin bunuh diri lantaran dijodohkan oleh ayahnya. Saat terjatuh ke jurang, rambutnya tersangkut pada sebuah tali. Gadis itu bersama anjingnya lama ke­lamaan membeku jadi batu. Maka batu itu pun diberi nama batu Gantung.
Setelah setengah jam perjalanan, kami sampai di kota Tomok. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di gerbang masuk, kami langsung menjumpai pernak-pernik khas danau Toba seperti gantungan kunci, gelang dan pakaian. Ada pula sortal (ulos kecil berwarna merah, hitam, putih yang biasanya dililitkan pada tas atau ransel untuk menandakan seorang jurnalis) dan ulos Batak yang digunakan pada kegiatan-kegiatan adat.
Pertama-tama, kami mengunjungi Si Gale-gale,  sebuah patung kayu yang menyerupai anak laki-laki kecil meng­gunakan pakaian adat Batak. Si Gale-gale adalah mitos sedih dalam kehidupan masa lalu masyarakat Batak. Konon, patung itu adalah putra Raja Batak yang bernama Manggalai. Raja ini amat menyayangi anaknya. Anak itu meninggal saat per­tempuran perluasan wilayah kerajaan. Raja pun jatuh sakit. Seorang tabib mengu­sulkan untuk membuat patung anaknya, kemudian roh sang anak ditiupkan ke dalam patung tersebut. Akhirnya Raja pulih dari sakitnya.
Kini, patung Si Gale-gale yang asli menjadi milik negara dan telah di­museumkan. Si Gale-gale yang kami dapati merupakan replika dari yang asli. Patung ini menari dengan bantuan tali dan seorang penggerak di belakangnya. Kami pun diajak ikut menari, namun sebelumnya masing-masing peserta dipasangkan ulos.
Setelah puas menari dan mendengar cerita Si Gale-gale, kami mengunjungi makam kuno Raja Sidabutar, makam yang terbuat dari batu utuh tanpa sambungan yang sudah berumur ratusan tahun. Jasad tidak dikubur tapi disimpan dalam batu itu. Sebelum masuk ke area makam, seorang kakek tua menyambut kami kemudian memasangkan ulos kepada masing-masing peserta. Selain makam Raja Sidabutar, tampak juga beberapa makam batu berjejeran. Di sisi pintu keluar terdapat ukiran seekor binatang melata yang menyerupai cicak, melekat di dinding. Ada pula ukiran menyerupai dua pasang buah dada perempuan. Ukiran ini memiliki makna kriteria gadis Batak yang baik untuk dinikahi. Pertama, tomok artinya subur sehingga bisa memberikan lebih banyak keturunan. Banyak keturunan berarti banyak rizki. Kemudian berakhlak baik, pintar dan setia sampai mati. Sedangkan binatang melata berarti bisa melekat dimana pun. Analoginya, seorang gadis mesti mudah beradaptasi dengan lingkungannya.
Usai mengunjungi dua tempat bersejarah itu, kami pun berkeliling untuk membeli buah tangan. Barulah sekitar jam 12 siang kami meninggalkan kota Tomok. Tujuan kunjungan kami selanjutnya adalah salah satu tempat persembunyian Bung Karno. Letaknya sekitar dua kilometer dari penginapan. Rumahnya bercat warna hitam dan putih. Di halamannya tumbuh bermacam-macam bunga yang menampakkan keasrian.
Beberapa meter dari sana, kami bisa menikmati kejernihan air Danau Toba. Saya dan beberapa orang teman memilih menggunakan perahu kecil mengintari tepi danau. Yang lainnya hanya me­nonton atau memotret.
Saat senja mulai turun, kami kembali ke penginapan. Malam itu kegiatan Salam Ulos ditutup. Tapi bukan berati kunjungan wisata kami sudah berakhir. Esoknya, sekitar jam 8 pagi kami menin­ggalkan Parapat menuju Sipiso-piso. Nah, ini yang menjadi tempat terakhir kunjungan wisata kami.
Sipiso-piso yang terletak di Kabupaten Karo adalah air terjun dengan ketinggian kurang lebih 800 meter dari permukaan laut dan memiliki ketinggian sekitar 360 kaki. Namun, kami tidak sempat turun menyentuh langsung airnya, hanya memandangnya dari jauh. Meski de­mikian, Sipiso-piso tetap meninggalkan kesan tersendiri bagi saya. Saat me­mandang ke kiri air terjun, kita akan menemukan panorama Danau Toba yang menawan. Air danau yang tenang, kontras dengan kucuran deras air terjun.

                                   Bika Ambon, Jajanan Khas Kota Medan

Jangan menga­ku pernah ke Medan kalau be­lum men­cicipi lang­sung Kue Bika Ambon. Di Kota Medan, ini akhir persing­gahan, kami ber­belanja kue Bika Ambon di pusat penjualannya di sepanjang Jalan Mojopa­hit. Bika ini makanan as­li dari kota Medan. Bia­sanya dijadi­kan buah ta­ ngan oleh orang-orang yang berkunjung ke Medan.

Satriani M

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sisi Feminis Alwy Rachman

Antara Ibu dan Pengantinku

Maaf